Menelaah
akar budaya Indonesia tidak akan lepas dari budaya Jawa sebagai salah satu
unsur budaya daerah yang memperkaya budaya bangsa. Seperti yang kita
pahami, budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dari unsur alam semesta, kepercayaan
dan perilaku manusianya yang diuraikan dalam bentuk ajaran bersifat dinamis
sebagai warisan nenek moyang suku bangsa Jawa.
Sebagian
orang memahami budaya Jawa sarat akan simbul-simbul dan makna tersembunyi,
sehingga bagi mereka yang tidak mau berpikir lebih lanjut menganggap bahwa
budaya Jawa “identik dengan klenik”. Tetapi tidak demikianlah
sesungguhnya, karena suatu istilah klenik akan muncul apabila suatu hal tidak
dapat dijelaskan dan tidak bisa diterima oleh akal dan hati. Berbalik
dengan hal itu, budaya Jawa justru mampu mengurai dengan sangat detail setiap
maksud dari tata cara maupun tata laku yang dimilikinya, sehingga pemberian
konotasi klenik “tidak dapat dikenakan kepadanya”.
Keluguan dan
kearifan manusia Jawa dalam menjalankan peri kehidupannya, telah mendorong
proses pencarian jatidirinya seiring pembangunan peradaban Jawa yang dilakukan
secara terus menerus (berkesinambungan lintas generasi) dalam waktu yang cukup
panjang. Pencerahan demi pencerahan yang diperoleh oleh para “sesepuh adat”
berusaha disampaikan secara terbuka dalam bentuk tata cara dan tata laku adat
dengan penjelasan rincinya, walau ada juga ada beberapa hal yang dianggap
“sakral” hanya diperuntukkan golongan tertentu saja. Sering orang salah
tanggap, menganggap kepercayaan adat Jawa identik dengan agama (yang
dikonotasikan peninggalan agama jaman purba sebelum ajaran agama samawi masuk
ke Nusantara, sebagian menyebut animisme atau dinamisme bahkan pantheisme).
Kita harus
secara tegas memberi garis batas agar kerancuan ini tidak terjadi lagi pada
generasi berikutnya, khususnya pemahaman antara “Agama” dan “Adat”.
Ketika manusia diciptakan, terdapat dua elemen dasar yang membedakan dari
mahluk lainnya, yaitu : “Akal dan Hati Nurani”. Akan tetapi kedua elemen
ini selain merupakan kelebihan bisa juga merupakan kelemahan dari mahluk yang
dinamakan manusia, dipandang kelemahan karena keduanya bisa tergoda oleh
pengaruh dari luar (godaan materi, bendawi dan sebagainya) maupun pengaruh dari
dalam tubuhnya (nafsu, emosi dan sebagainya). Ketika manusia mengalami
itu maka dia bagai tinggal di ruang gelap (buta arah dan tujuan) dan turun
derajatnya (perilakunya dapat menyerupai nafsu hewani dan sebagainya).
Adalah berkah bagi kita semua ketika dalam kegelapan tersebut, kembali Tuhan menganugrahkan
alat bantu agar kita mengerti arah dan tujuan dari hidup. Anugrah itu
berupa “Agama atau Kepercayaan dan Adat”, agama atau kepecayaan adalah tata
nilai kebenaran yang secara khusus ditujukan guna menerangi kegelapan hati
sedangkan adat adalah tata nilai kebenaran yang secara khusus ditujukan untuk
menerangi kegelapan akal. Itulah sebabnya ada petunjuk agama yang sulit
dipahami lewat akal tetapi lebih mudah dipahami dengan hati nurani dan
sebaliknya adat lebih mudah dipahami dengan akal dari pada dengan hati nurani.
Ada petunjuk
dari salah satu agama samawi kurang lebih mempunyai arti : “Bila engkau ingin
memahami Tuhanmu, maka pahami terlebih dahulu alam semesta sebagai wujud
kebesaranNya”. Disini cukup jelas menggambarkan perbedaan obyek seperti
bahasan sebelumnya, ada Dzat Tuhan dan ada alam semesta ciptaanNya. Dzat
Tuhan inilah yang kemudian diurai panjang lebar pemahamannya dalam ajaran agama
atau kepercayaan sedangkan alam semesta diuraikan dalam tata adat istiadat
setempat.
Dalam
perkembangan peradaban yang dibangunnya, manusia Jawa juga mempunyai
“kepercayaan” akan eksistensi Tuhan selain berupaya juga menjaga keselarasan
hidup dengan alam sekelilingnya yang di tuangkan dalam “adat istiadat”.
Kepercayaan tentang adanya Dzat yang paling perkasa yang mengendalikan hidup
dapat ditemukan dalam kosa kata Jawa : Sang Hyang Tunggal (Dzat yang Maha
Tunggal) atau Sang Hyang Kawekas (Dzat yang Akhir setelah semua kehidupan
hancur). Kemudian ada struktur dibawahnya yang menunjukkan keperkasaan
sifat Tuhan (dalam agama Islam disebut 99 nama Tuhan), misalnya : Sang Hyang
Wenang (Dzat yang mempunyai Kekuasaan terbesar), Sang Hyang Manon (Dzat yang
Berkehendak atas semesta) dan banyak lagi. Tetapi sampai detik ini, belum
pernah kepercayaan Jawa tersebut di deklarasikan sebagai suatu ajaran
agama. Karena masyarakat Jawa berpedoman bahwa agama atau kepercayaan itu
adalah untuk dilakukan dan bukannya dicarikan pengakuan apalagi untuk
diperdebatkan, perilaku ini menyebabkan tanah Jawa menjadi bagian yang paling
cair atau bisa menerima penyebaran berbagai agama yang ada di Nusantara selama
ajarannya seiring dengan pemahaman kepercayaan asli mereka.
Agama Budha,
Hindu, Islam, Kristen, Katholik, dan lainnya ketika masuk ke tanah Jawa telah
mengalami proses asimilasi kepercayaan yang justru memperkaya rasa ke imanan
bagi pemeluknya. Tak jarang adanya istilah : Budha Jawi, Hindu Jawi,
Islam Kejawen, Kristen / Katholik Jawi, dan itu bukan hanya sebuah nama tetapi
lebih jauh dari itu agama yang berasal dari luar Nusantara telah menemukan
pemahaman baru tentang keimanan yang justru tidak muncul di tempat
aslinya. Kearifan lokal dan peran adat istiadat mewarnai peri kehidupan
keagamaan yang ada, mampu menjadi pondasi yang cukup kokoh bagi persatuan dan
kesatuan bangsa. Tapi semuanya dapat terjungkir balikan seperti yang
terjadi saat ini, ketika ajaran agama tadi ditampilkan seperti aslinya oleh
sebagian pemeluknya yang fanatis maka kearifan lokal hilang dan menawarkan
pertikaian antar pemeluk beragama. Jelas ini masalah sulit, menerapkan
sesuatu nafas adat yang mewarnai agama versi : India, Timur Tengah, Yerusalem,
China dan sebagainya diatas tanah adat yang mempunyai getaran berbeda (atas
berkah dan kehendak Tuhan) : JAWA.
Andai saja
mereka semua paham, bahwa kearifan lokal adat Nusantara khususnya Jawa telah
berhasil membawa mercusuar keimanan keseluruh penjuru dunia. Lihat saja
Budha Nusantara dengan Borobudurnya telah mampu menginspirasi negara asal
agamanya bahkan jauh ke atas Tibet di pegunungan Himalaya sana, Hindhu
Nusantara dengan Prambanan dan kearifan lokal Bali menjadi acuan dunia hingga
saat ini, Islam Jawa dengan peran Walisongonya yang menjadi tempat belajar
ulama se Asia Tenggara, Gereja Jawi Wetan yang memakai bahasa lokal dan
Keuskupan Nusantara yang suaranya di dengar Vatikan karena kearifannya dan
agama lainnya yang ada di Nusantara.
Kesimpulannya
“Agama adalah miliknya Hati, Adat Istiadat atau Budaya adalah milik perilaku
dan akal. Jadi tempatkan semuanya sesuai dengan derajatnya, ketika kita
membolak-balikan posisinya, itu sama artinya mematahkan pertolongan Tuhan lewat
Agama dan Adat atas kegelapan Hati dan Akalmu”.