Saturday, May 31, 2014

Memahami Kepercayaan & Adat Istiadat Dalam Budaya Jawa



Menelaah akar budaya Indonesia tidak akan lepas dari budaya Jawa sebagai salah satu unsur budaya daerah yang memperkaya budaya bangsa.  Seperti yang kita pahami, budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dari unsur alam semesta, kepercayaan dan perilaku manusianya yang diuraikan dalam bentuk ajaran bersifat dinamis sebagai warisan nenek moyang suku bangsa Jawa.

Sebagian orang memahami budaya Jawa sarat akan simbul-simbul dan makna tersembunyi, sehingga bagi mereka yang tidak mau berpikir lebih lanjut menganggap bahwa budaya Jawa “identik dengan klenik”.  Tetapi tidak demikianlah sesungguhnya, karena suatu istilah klenik akan muncul apabila suatu hal tidak dapat dijelaskan dan tidak bisa diterima oleh akal dan hati.  Berbalik dengan hal itu, budaya Jawa justru mampu mengurai dengan sangat detail setiap maksud dari tata cara maupun tata laku yang dimilikinya, sehingga pemberian konotasi klenik “tidak dapat dikenakan kepadanya”.

Keluguan dan kearifan manusia Jawa dalam menjalankan peri kehidupannya, telah mendorong proses pencarian jatidirinya seiring pembangunan peradaban Jawa yang dilakukan secara terus menerus (berkesinambungan lintas generasi) dalam waktu yang cukup panjang.  Pencerahan demi pencerahan yang diperoleh oleh para “sesepuh adat” berusaha disampaikan secara terbuka dalam bentuk tata cara dan tata laku adat dengan penjelasan rincinya, walau ada juga ada beberapa hal yang dianggap “sakral” hanya diperuntukkan golongan tertentu saja.  Sering orang salah tanggap, menganggap kepercayaan adat Jawa identik dengan agama (yang dikonotasikan peninggalan agama jaman purba sebelum ajaran agama samawi masuk ke Nusantara, sebagian menyebut animisme atau dinamisme bahkan pantheisme).

Kita harus secara tegas memberi garis batas agar kerancuan ini tidak terjadi lagi pada generasi berikutnya, khususnya pemahaman antara “Agama” dan “Adat”.  Ketika manusia diciptakan, terdapat dua elemen dasar yang membedakan dari mahluk lainnya, yaitu : “Akal dan Hati Nurani”.  Akan tetapi kedua elemen ini selain merupakan kelebihan bisa juga merupakan kelemahan dari mahluk yang dinamakan manusia, dipandang kelemahan karena keduanya bisa tergoda oleh pengaruh dari luar (godaan materi, bendawi dan sebagainya) maupun pengaruh dari dalam tubuhnya (nafsu, emosi dan sebagainya).  Ketika manusia mengalami itu maka dia bagai tinggal di ruang gelap (buta arah dan tujuan) dan turun derajatnya (perilakunya dapat menyerupai nafsu hewani dan sebagainya).  Adalah berkah bagi kita semua ketika dalam kegelapan tersebut, kembali Tuhan menganugrahkan alat bantu agar kita mengerti arah dan tujuan dari hidup.  Anugrah itu berupa “Agama atau Kepercayaan dan Adat”, agama atau kepecayaan adalah tata nilai kebenaran yang secara khusus ditujukan guna menerangi kegelapan hati sedangkan adat adalah tata nilai kebenaran yang secara khusus ditujukan untuk menerangi kegelapan akal.  Itulah sebabnya ada petunjuk agama yang sulit dipahami lewat akal tetapi lebih mudah dipahami dengan hati nurani dan sebaliknya adat lebih mudah dipahami dengan akal dari pada dengan hati nurani.

Ada petunjuk dari salah satu agama samawi kurang lebih mempunyai arti : “Bila engkau ingin memahami Tuhanmu, maka pahami terlebih dahulu alam semesta sebagai wujud kebesaranNya”.  Disini cukup jelas menggambarkan perbedaan obyek seperti bahasan sebelumnya, ada Dzat Tuhan dan ada alam semesta ciptaanNya.  Dzat Tuhan inilah yang kemudian diurai panjang lebar pemahamannya dalam ajaran agama atau kepercayaan sedangkan alam semesta diuraikan dalam tata adat istiadat setempat.

Dalam perkembangan peradaban yang dibangunnya, manusia Jawa juga mempunyai “kepercayaan” akan eksistensi Tuhan selain berupaya juga menjaga keselarasan hidup dengan alam sekelilingnya yang di tuangkan dalam “adat istiadat”.  Kepercayaan tentang adanya Dzat yang paling perkasa yang mengendalikan hidup dapat ditemukan dalam kosa kata Jawa : Sang Hyang Tunggal (Dzat yang Maha Tunggal) atau Sang Hyang Kawekas (Dzat yang Akhir setelah semua kehidupan hancur).  Kemudian ada struktur dibawahnya yang menunjukkan keperkasaan sifat Tuhan (dalam agama Islam disebut 99 nama Tuhan), misalnya : Sang Hyang Wenang (Dzat yang mempunyai Kekuasaan terbesar), Sang Hyang Manon (Dzat yang Berkehendak atas semesta) dan banyak lagi.  Tetapi sampai detik ini, belum pernah kepercayaan Jawa tersebut di deklarasikan sebagai suatu ajaran agama.  Karena masyarakat Jawa berpedoman bahwa agama atau kepercayaan itu adalah untuk dilakukan dan bukannya dicarikan pengakuan apalagi untuk diperdebatkan, perilaku ini menyebabkan tanah Jawa menjadi bagian yang paling cair atau bisa menerima penyebaran berbagai agama yang ada di Nusantara selama ajarannya seiring dengan pemahaman kepercayaan asli mereka.

Agama Budha, Hindu, Islam, Kristen, Katholik, dan lainnya ketika masuk ke tanah Jawa telah mengalami proses asimilasi kepercayaan yang justru memperkaya rasa ke imanan bagi pemeluknya.  Tak jarang adanya istilah : Budha Jawi, Hindu Jawi, Islam Kejawen, Kristen / Katholik Jawi, dan itu bukan hanya sebuah nama tetapi lebih jauh dari itu agama yang berasal dari luar Nusantara telah menemukan pemahaman baru tentang keimanan yang justru tidak muncul di tempat aslinya.  Kearifan lokal dan peran adat istiadat mewarnai peri kehidupan keagamaan yang ada, mampu menjadi pondasi yang cukup kokoh bagi persatuan dan kesatuan bangsa.  Tapi semuanya dapat terjungkir balikan seperti yang terjadi saat ini, ketika ajaran agama tadi ditampilkan seperti aslinya oleh sebagian pemeluknya yang fanatis maka kearifan lokal hilang dan menawarkan pertikaian antar pemeluk beragama.  Jelas ini masalah sulit, menerapkan sesuatu nafas adat yang mewarnai agama versi : India, Timur Tengah, Yerusalem, China dan sebagainya diatas tanah adat yang mempunyai getaran berbeda (atas berkah dan kehendak Tuhan) : JAWA.

Andai saja mereka semua paham, bahwa kearifan lokal adat Nusantara khususnya Jawa telah berhasil membawa mercusuar keimanan keseluruh penjuru dunia.  Lihat saja Budha Nusantara dengan Borobudurnya telah mampu menginspirasi negara asal agamanya bahkan jauh ke atas Tibet di pegunungan Himalaya sana, Hindhu Nusantara dengan Prambanan dan kearifan lokal Bali menjadi acuan dunia hingga saat ini, Islam Jawa dengan peran Walisongonya yang menjadi tempat belajar ulama se Asia Tenggara, Gereja Jawi Wetan yang memakai bahasa lokal dan Keuskupan Nusantara yang suaranya di dengar Vatikan karena kearifannya dan agama lainnya yang ada di Nusantara.
Kesimpulannya “Agama adalah miliknya Hati, Adat Istiadat atau Budaya adalah milik perilaku dan akal.  Jadi tempatkan semuanya sesuai dengan derajatnya, ketika kita membolak-balikan posisinya, itu sama artinya mematahkan pertolongan Tuhan lewat Agama dan Adat atas kegelapan Hati dan Akalmu”.


No comments:

Post a Comment

Be Someone Who Seeks Comfort And Style