Batik asli yang dikemas
dengan tangan atau batik tulis terancam perilaku tidak sportif di internal para
pengusaha. Mereka cenderung pragmatis dengan manipulasi batik tulis. Manipulasi
batik tulis dilakukan dengan kombinasi teknik printing/sablon degan teknik
batik. Produk demikian tidak bisa dikategorikan sebagai batik tulis.
"Problematika tentang
pengkombinasian teknik sablon degan teknik batik. Kemudian produk yang mirip
batik tetapi secara keseluruhan bukan batik atau full printing. Pedagang sering
mengklaim produk semacam itu tetap sebagai batik asli," kata pakar batik
Balai Besar Kerajinan dan Batik Masiswo.
Dalam dialog tentang batik
dalam perspektif industri dan proses di Fakultas Teknologi Industri Universitas
Islam Indonesia (FTI UII), batik asli, batik tulis maupun bukan, juga terancam
oleh tekstil-tekstil impor yang bercorak menyerupai, terutama impor tekstil
dari Tiongkok. Semakin mendominasi pasar, "batik palsu" Tiongkok ini
menganggu eksistensi dan masa depan batik Indonesia.
Ancaman lainnya kain motif
batik direkayasa menjadi "batik" dengan cara kain motif batik
tersebut disiram 'esense malam'. Jalan pintas ini sebagai manipulasi yang lebih
parah dalam industri batik nasional.
"Kain motif batik yang
disiram 'esense malam' menjadikan 'batik palsu' yang seolah-olah batik asli
tidak diketahui oleh orang awam. Seorang pejabat pergi ke luar negeri dengan
menenteng souvenir 'batik palsu' itu, dibeli di sini dengan harga mahal, tetapi
mereka tidak tahu yang dibeli dan dijadikan buah tangan di luar negeri
sebenarnya batik palsu. Ini problem yang justru mengancam eksistensi
batik," kata dosen FTI UII Agus Taufik.
Menurut dia masalah sikap
pragmatis yang menyulap batik bukan asli menjadi seolah-olah batik asli bisa
mempengaruhi status batik sebagai warisan budaya "tak benda" yang
ditetapkan oleh Unesco pada 2 Oktober 2003. Apabila tim pemantau Unesco menilai
para pelaku industri dan pengrajin batik tidak bisa memelihara warisan budaya
tersebut, itu bisa menjadi masalah pada status batik sebagai warisan budaya.
Kepala Pusat Studi Desain
Busana dan Batik Ir. Gumbolo Hadi Susanto, MSc menyatakan tujuan Unesco
mengukuhkan batik sebagai warisan budaya untuk memotivasi semua masyarakat,
meningkatkan kesadaran nilai batik di tingkat lokal dan nasional serta
antarbangsa. Agar status warisan budaya tetap aman, batik harus terus
direvitalisasi.
"Merevitalisasi batik
dengan cara menghidupkan kembali seni batik, tidak hanya mengenal dan memakai
batik, juga melalui pendidikan karakter batik," ujar dia.
Dekan FTI UII tersebut
menyatakan pendidikan karakter batik untuk menjaga motif-motif batik dan
filosofi yang terkandung di dalamnya. Jika strategi demikian intensif
dilaksanakan, maka sikap pragmatis dalam produks batik bisa dicegah. Tugas ini
bisa dilaksanakan oleh akademisi seni batik dan peran pengelola museum batik.
Sumber : pikiran-rakyat.com
No comments:
Post a Comment