Liliek Setiawan, Pejabat Humas
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jateng mengatakan, semakin agresifnya
produsen batik Malaysia dalam memasok beragam kebutuhan kain batik Melayu ke
Indonesia tersebut telah terjadi sejak lama.
“Jika tidak diantisipasi, ya
keberadaannya (batik Malaysia) bisa menenggelamkan pasar batik lokal khususnya
di Cirebon, Pekalongan, Solo, Yogyakarta dan Pulau Madura,” kata Liliek.
Liliek mengatakan, pergerakan batik
Malaysia dalam beberapa waktu terakhir semakin meningkat dan kini mulai merebak
di sentra-sentra produksi batik tradisional mulai Lasem, Cirebon, Madura, Solo
maupun Yogyakarta. Bahkan, kini jumlahnya meningkat dan siap bertarung dengan
batik lokal.
Dikhawatirkan, jika laju penjualan
batik Malaysia tak segera diantisipasi maka lambat laun mampu menggerus pangsa
pasar batik tradisional. Sebab, kini laju penjualan batik Malaysia mulai
mendominasi penjualan batik di pasar batik nasional di Jakarta seperti Thamrin
City, Pasar Tanah Abang (Tenabang).
Dengan harga sekira 40 hingga 50
persen lebih rendah dari produk lokal, bisa jadi batik Malaysia justru
menguasai pasar-pasar Indonesia serta menenggelamkan pamor batik tradisional.
“Maka dari itu, kita harus
mengantisipasi pergerakannya. Ya harganya memang jauh lebih murah.
Warna-warnanya pun lebih beragam dan terlihat semarak. Ini kalau dibiarkan bisa
habislah kita,” ungkap Liliek.
Untuk mengantisipasinya, pihaknya
menyarankan kepada perajin dan eksportir lokal meningkatkan kualitas karya
batiknya dengan terus berinovasi menciptakan motif dan corak warna baru, agar
bisa mengendalikan pasar batik di wilayah domestik.
Sementara itu, Joko Santosa, Wakil
Ketua API Jateng, menyebutkan, langkah antisipatif yang harus dilakukan saat
ini adalah dengan menguatkan hukum untuk mematenkan desain motif batik lokal.
“Ini penting dilakukan, untuk memproteksi kerajinan kain batik supaya tidak
dijiplak kompetitor dari luar negeri,” tandasnya.
Sumber : portal.joglosemar.co
No comments:
Post a Comment